Minggu, 24 April 2011

Sekantong gorengan

0 komentar
Sekantong Gorengan

Insya Allah ini ada cerita yang cukup menarik...
smoga bisa mengambil hikmahnya....
met menikmati....

Seorang anak belasan tahun terduduk lemas di bawah
pohon di pinggiran jalan. Matanya yang sayu tampak
tengah mengamati antrian mobil di sepanjang jalan
Wijaya, Jakarta Selatan. “Mobil-mobil mewah” pikirnya.
Sejenak kuperhatikan matanya menerawang entah apa yang
dipikirkannya, namun yang kutahu pasti ia sangat
lelah. Itu bisa bisa dilihat dari seikat sapu lidi
yang bertengger bersama tubuhnya di pohon rindang,
juga seonggok sampah dalam sebuah keranjang besar.
Kutahu, ia seorang penyapu jalanan yang setiap pagi
tak pernah absen mengukur jalanan kota.

Tak kuasa rasanya kaki ini terus melangkah tanpa
berhenti menyapanya. Matanya yang sayu namun tajam itu
seperti menusuk hati ini dan memaku kuat kaki-kaki ini
untuk tak terus berlalu. Bukan, bukan mobil-mobil
mewah itu yang membuatnya menerawang, aku yakin, itu
hanya pelampiasan satu rasa yang sampai pagi ini
ditahannya. Dan kini, dari matanya, juga gerak lemah
tubuhnya, aku bisa menangkap rasa yang tertahan itu.

“Sudah makan dik?” sapaku dengan senyum yang
kupaksakan semoga menjadi yang termanis agar ia tak
merasa sungkan atau takut.

“Belum ...”. Benar dugaanku. Tubuhnya bergerak sedikit
bergeser semakin merapat dengan pohon, namun matanya
terus mengira-ngira siapa gerangan yang menyapanya.

"Ini, ambillah ...” sebungkus gorengan yang baru saja
kubeli di Prapatan dekat lampu merah serta sebotol
Aqua langsung menjadi miliknya. Seperti menggotong
gunung terbesar di dunia rasanya jika aku terus
mendekap makanan kecil tersebut tanpa peduli rasa
lapar yang ditahan anak itu.

“Nggak ... nggak usah ...” duh, ingin sekali hati ini
menangis. Sudah pasti kutahu ia sangat lapar, tapi
kenapa masih menolak pemberianku. Hmm, mungkin
senyumku kurang manis, atau bisa jadi ia masih
menangkap kekurang-ikhlasanku menyerahkan sarapan
pagiku kepadanya. Bisa saja, mata hatinya merasai
beratnya tangan ini saat terhulur bersama bungkusanku.
Bukan tidak mungkin ia mampu melihat lebih dalam niat
yang tersembul bersamaan dengan uluran tangan ini,
yakni sekedar ingin mendapatkan pujian atau perhatian
dari sekeliling.

Ah tidak. Takkan kubiarkan itu terjadi. Kulatih wajah
dan bibirku untuk bisa memancarkan senyum terindah
yang menyejukkan. Kurangkai betul-betul kalimat yang
semestinya keluar dari mulut ini agar tak
menakutkannya lagi, dan kuayun-ayunkan tangan ini
seperti senam kesegaran jasmani yang entah sudah
berapa tahun tak pernah kulakukan lagi, agar tangan
ini begitu ringan saat terhulur. Ahaaa ... hatiku
berteriak, mungkin karena sudah lama aku tak melakukan
senam, sehingga tangan ini semuanya menjadi kaku. Tapi
... bukan, bersedekah itu tidak ada kaitannya dengan
rajin senam, olahraga, apalagi angkat berat. Berarti,
untuk apa juga kulatih wajah dan bibirku tadi, dan
bersusah payah merangkai kata layaknyak seorang
pujangga tengah menyusun syair keagungan hanya sekedar
untuk menyodorkan sedekah.

“Ayo ... ambil saja ...” kali ini benar-benar
kuperbaiki senyumku, juga uluran tangan yang lebih
ringan. Tentu saja tanpa melakukan latihan-latihan
terlebih dahulu. Karena ini sekedar mengulang satu hal
yang sudah lama tak kulakukan. Ya! ... hatiku
berteriak lagi. Kutemukan jawabannya. Masalahnya bukan
soal wajah dan senyumku yang harus dipaksakan
semanis-manisnya, atau sudah sekian lamanya tak
bersenam tangan. Sesungguhnya, diri ini sudah lama tak
merasai duduk bersama, makan bersama dan berbagi
dengan mereka, anak-anak yatim, fakir miskin,
orang-orang yang lemah. Tangan ini sudah lama tak
terhulur untuk mereka, bahkan seringkali wajah dan
pandangan ini berpaling dari hentakan-hentakan kaki
lapar mereka, juga erangan penderitaan yang semestinya
memekakkan telinga ini.

Kuulangi tawaranku, tapi kali ini sambil duduk
disampingnya. Kalau saja pohon itu cukup untuk berbagi
sandaran, tentu aku akan bersandar pula dengannya,
sekedar untuk membuatnya nyaman, bahwa aku adalah dia,
dia adalah bagian dari aku. Itu saja intinya.
Untungnya, pohon itu terlalu kecil untuk tempat
berbagi, karena sesungguhnya, saat ini aku tidak lebih
membutuhkan sandaran itu. Cukuplah itu untuknya, aku
tak ingin merebut lahan kesejukannya. Mungkin saja,
selama ini hanya pohon itulah tempatnya bersandar,
memperdengarkan keluhannya, menempelkan peluhnya, dan
sesekali menjadi bantal tidurnya.

Ia sangat tahu, seandainya pohon itu memiliki tangan,
pastilah kehangatan pelukannya senantiasa dirasai.
Tapi bukankah Tangan-Tangan Allah bertebaran
dimana-mana? Saya yakin, keyakinan itulah yang
menjadikannya terus bersandar di pohon ciptaan Allah
itu, karena ia tahu, kapanpun, dimanapun ia
memasrahkan diri, Allah selalu disana. Bersama
orang-orang yang lemah, memeluk anak-anak yatim, dan
sangat dekat dengan fakir miskin.

Tanganku masih terhulur. Ia tak segera menyambutnya.
Hanya keraguan yang menyemburat dari wajahnya.

“Kalau saya ambil ini, mas makan apa?” Degg. Kali ini
aku tak ingin menangis. Ingin sekali kupeluk dia. Aneh
rasanya, di zaman seperti ini, saat banyak orang tak
peduli lagi dengan kepentingan orang lainnya, diwaktu
manusia yang satu menginjak manusia yang lainnya untuk
kepentingan pemuasan perutnya sendiri, dikala semakin
punahnya orang-orang yang mau memikirkan nasib orang
lain. Eh, anak ini, yang aku ikhlaskan sarapan pagiku
karena aku masih bisa membelinya lagi, malah berbalik
memikirkan ‘nasib’ku. “mas makan apa?” terbayang nggak
sih ...

“Sudah ... saya bisa beli lagi. Ini buat adik,” Senyum
diwajahnya memancarkan rasa syukur yang tak
tergambarkan, meski hanya sekantong gorengan dan
sebotol Aqua. Tanpa lupa mengucapkan terima kasih, ia
menyambut hangat tanganku.

“Aku yang berterima kasih sama kamu dik. Kalau kamu
tidak menerimanya, entah kapan lagi kesempatan terbaik
ini datang lagi kepadaku. Mungkin tangan ini akan
semakin kaku sehingga semakin sulit terhulur. Wajah
dan pandangan ini bahkan bukan lagi sekedar berpaling
saat kehadiranmu, tapi justru tak lagi melihat meski
tangismu bagai halilintar didepan hidungku. Kaki-kaki
ini tak lagi berhenti untuk sekedar mencari tahu, apa
yang tengah terjadi denganmu hari ini. Dan tak ada
lagi senyum keikhlasan dari hati ini untuk bisa duduk
bersama denganmu”. Aku teruskan langkahku tanpa
menoleh kebelakang, ungkapan rasa syukurku terus
terngiang mengiringi kelegaan dada yang tiba-tiba saja
kurasakan, entah karena apa.

sudahkah kita beramal dan bersedekah hari ini?
sumber Tikmal
buku islami

0 komentar:

Posting Komentar